Pada akhir tahun, saya harus memberikan penilaian kepada anak buah. Demikian pula saya akan dinilai oleh atasan saya. Di instansi dimana saya bekerja, range nilai adalah 1-100, dan saya tidak akan memberikan nilai 100 kepada anak buah saya, karena dia bukan robot, yang tidak pernah meninggalkan tempat duduknya, yang bekerja tanpa keletihan dan istirahat. Tetapi saya nilai dia dengan nilai baik dalam range yang diterima. Dan saya pun berharap atasan saya juga memberi nilai baik kepada saya, karena saya pikir kerja saya tidak buruk-buruk amat.
Saya jadi teringat akan milist teman luar biasa saya, (thanks alien..!!), yaitu tulisan dari DR Rhenald Khasali, yang dalam postingan tersebut beliau menjabat sebagai Ketua Program MM UI, dengan judul "Pendidikan Kita". Dalam tulisan tersebut menerangkan apa yang dialami oleh beliau ketika putranya mendapat nilai bagus untuk pekerjaan yang menurut beliau biasa-biasa saja (di luar negeri), dan beliau membandingkan dengan sistem pemberian nilai dan apresiasi yang terjadi di negara kita tercinta, Indonesia. Disana tertulis :
"Pada saat kembali ke Tanah air, banyak hal sebaliknya sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut "menelan" mahasiswanya yang duduk dibangku ujian. Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung dan menyebarkan berita tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang dibalik batunya. Saya sempat mengalami frustasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement. Saya ingat betul bagaimana guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah anak-anak disana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat, bahkan menerima hadiah Nobel. Bukan karena mereka mempunyai guru yang pintar secara akademis, melainkan karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak. Kembali ke pengalaman anak saya diatas, ibu guru mengingatkan saya, "Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita yang sudah jauh kedepan".
Dan apa yang dialami oleh Bp Rhenald pernah saya alami juga. Ketika bimbingan tesis, sepanjang perjalanan memasuki kampus, saya membaca al fatehah dan surat-surat pendek, berulang-ulang dalam hati. Untuk apa ? untuk menenangkan diri karena akan bertemu Ibu Professor pembimbing saya yang menurut saya angker. Dan berharap semoga lancar. Entah karena doa-doa saya atau saya memang beruntung, 3 kali bimbingan proposal sampai bab 3 lancar. Tapi memasukin ruang bimbingan, badan panas dingin. Sedangkan teman-teman saya golongan orang-orang yang tidak seberuntung saya, karena proposal saja sudah hampir 1-2 bulan masih harus diperbaiki. Tetapi pada saat, analisis penelitian, saya pernah dijanjikan untuk bertemu hari H jam H. Posisi saat itu dirumah tidak ada pembantu, dan kakak masih kelas 5 SD, adik masih TK kecil. Terpaksa mereka harus kutinggal untuk berangkat ke kampus, dengan janji cuma sekitar 1 jam sudah sampai rumah lagi. Ternyata setelah menunggu, beliau minta ketemu 2 jam lagi. Dua jam ? sedangkan anak-anak sendiri dirumah.. duh, airmata dah mbrabak mau keluar aja. Itu belum seberapa. Seorang mahasiswa dari Bali yang sebimbingan dengan saya menceritakan kalau proposalnya pernah dibanting ke lantai, dan mahasiswa itu walaupun takut, nekat mengambil proposal itu dan diberikan lagi ke Beliau... hahahahaha.
Aaah.. belum lagi pas pengujian, di uji 3 orang dosen penguji termasuk sang Ibu Professor, dan menurut saya (optimis), saya bisa menjawab semua dengan lancar, tapi apa nilai saya dari kerja keras saya ? B. Ya cuman B. Padahal saya berharap lebih. Dan yang membuat kecewa, nilai tersebut dikeluarkan setelah seminggu pengujian, jadi tidak langsung... aaah... Apa beliau-beliau masih ingat saya diantara sekian ribu mahasiswa? ..hiks... jadi yaa sampai sekarang saya masih penasaran dengan nilai saya tersebut... hahahahah.. tapi ya sudahlah...
Ini saya kutip lagi dari tulisan DR Rhenald :
"Sekolah yang membuat kita tidak nyaman, mungkin telah membuat kita menjadi lebih disiplin. Namun dilain pihak dia juga bisa mematikan inisiatif dan mengendurkan semangat. Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar